Indonesia dapat dikatakan saat ini merupakan salah satu Negara
demokrasi terbesar di dunia. Dengan posisinya yang strategis dan luas serta jumlah penduduk yang mencapai lebih dari
240 juta jiwa, menjadikan Indonesia salah satu barometer pemerintahan dan
politik di Asia, khususnya di Asia Tenggara. Maka tidak jarang, apabila terjadi
pasang surut politik di Negara ini, Indonesia selalu menjadi perhatian dunia.
Apalagi pada saat ini, Indonesia baru saja melaksanakan kancah event politik
yang sangat mengharu biru dalam bentuk pemilihan legislative dan presiden
secara langsung. Tak pelak dunia perpolitikan Indonesia menjadi buah bibir dan
pusat perhatian dunia.
Apabila kita bicara perpolitikan di Indonesia, kita tidak
bisa lepas dari perbincangan tentang caleg, capres, cawapres, partai politik dan
kepala daerah . Benar sekali,individu dan entitas-entitas inilah yang sangat
berkepentingan kepada politik. Beberapa
waktu yang lalu kita disuguhkan berbagai macam strategi yang digunakan oleh
entitas tersebut untuk dapat memenangkan perhelatan akbar Pemilu. Jika kita
amati secara umum kebanyakan politisi maupun partai politik di Indonesia hanya
menekankan aktivitas marketingnya pada tahap exposure dan tahap awareness
(baca 7 Steps of Political Marketing!Sebuah Strategi Untuk Menang!) . Tujuan
mereka adalah membangun popularitas setinggi-tingginya dikalangan
masyarakat dan pada akhirnya mengharapkan pencitraan yang bagus. Para politisi
percaya pencitraan yang bagus akan membuat public tergerak, suka, dan
berkomitmen untuk memilihnya dan akhisrnya menghasilkan elektabilitas yang
tinggi.
Sebagian besar politisi selalu ingin hasil yang instan,
mereka menghabiskan dana yang begitu besar melalui kegiatan above the line yang tidak terintegrasi
dengan program-program lain yang berbasiskan experiential (pemberian pengalaman
yang tak terlupakan) dan engagement. Ketidaksabaran para politisi seringkali
membuat program marketing yang membabi buta, tidak terintegrasi dan memiliki
goal yang kurang jelas.
Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Barrack Obama
dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat,
pada tahun 2008. Pada saat itu, Obama membangun platform marketing yang
terintegrasi antara microsite yang didesain secara khusus secara online maupun
offline hingga memanfaatkan media social untuk membangun engagement dengan
komunitas yang ada. Bahkan dari aktivitas engagement ini, Obama berhasil
melakukan fund raising hingga 54% dari total dana yang berhasil dikumpulkan
atau setara US$199,8 juta yang tentu saja merupakan jumlah yang fantastis.
Bagaimana dengan di Indonesia? Dari berbagai pengamatan
terdapat 3 pola yang dilakukan oleh para politisi untuk meningkatkan preferensi
pemilih yaitu:
1.
Snob
Politisi kelompok Snob biasanya dari kalangan yang memiliki
modal besar seperti pengusaha atau dari kalangan pejabat. Kelompok politisi ini
cenderung ingin mengambil jalan pintas dengan melakukan transactional marketing
melalui pemberian kesenangan dan informasi dengan biaya yang besar. Mereka
melakukan kampanye dalam dua bentuk. Pertama membangun popularitas dengan
inklan (above the line dan Below The Line). Kedua, meraup suara dengan
membagi-bagi logistic termasuk memberikan janji hadiah yang besar kepada para
pemilih dan tim sukses.
2.
Politisi Smart
Politisi Kelompok Smart biasanya tidak mau mengeluarkan
biaya besar dalam kampanye, namun tetap yakin memiliki kesempatan untuk menang.
Biasanya mereka sudah punya modal popularitas seperti dari kalangan artis atau
aktivis. Namun demikian, kelompok ini masih perlu berjuang keras untuk
meningkatkan likeabilitas dan elektabilitas. Strategi yang mereka lakukan
biasanya adalh dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat experiential (pengalaman)
mapun melakukan engagement (interaksi dan keterlibatan secara langsung dengan
para pemilih) terhdap komunitas-komunitas, baik yang sudah ada, maupun yang sengaja
mereka bentuk. Namun rata-rata mereka melakukannya sebatas media offline
Kelompok Smart politician berusaha menerapkan prinsip low budget high impact marketing.
Sayangnya, kebanyakan dari mereka tidak ada yang secara serius menciptakan
platform khusus yang sengaja dibuat untuk membangun engagement jangka panjang
dengan pemilih. Rata-rata politisi di Indonesia hanay berorientasi jangka
pendek hingga mereka terpilih menjadi angota legislatif.
3.
Politisi Dumb
Kelompok
ini sebenarnya kurang serius maju dalam kompetisi. Namun mereka hanya berharap
siap tahu dengan usaha yang tidak seberapa bisa bernasib baik dan mengantarkannya
di kursi empuk kekuasaan. Mereka dapat berasal dari kalangan artis, pengusaha
muda, professional dan lain-lain. Praktis kelompok ini tidak melakukan kegiatan
marketing yang signifikan kecuali jika diberi kesempatan untuk sekedar
berbagai-bagi brosur, stiker, dan beberapa merchandise lain yang tergolong
murah. Kelompok ini tidak mau melakukan investasi yang besar untuk kegiatan
politiknya, kalau perlu mereka tidak keluar uang sepeser pun.
0 comments:
Post a Comment