Tuesday, September 23, 2014

Praktik Political Marketing di Indonesia


Indonesia dapat dikatakan saat ini merupakan salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia. Dengan posisinya yang strategis dan luas  serta jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 240 juta jiwa, menjadikan Indonesia salah satu barometer pemerintahan dan politik di Asia, khususnya di Asia Tenggara. Maka tidak jarang, apabila terjadi pasang surut politik di Negara ini, Indonesia selalu menjadi perhatian dunia. Apalagi pada saat ini, Indonesia baru saja melaksanakan kancah event politik yang sangat mengharu biru dalam bentuk pemilihan legislative dan presiden secara langsung. Tak pelak dunia perpolitikan Indonesia menjadi buah bibir dan pusat perhatian dunia.

Apabila kita bicara perpolitikan di Indonesia, kita tidak bisa lepas dari perbincangan tentang caleg, capres, cawapres, partai politik dan kepala daerah . Benar sekali,individu dan entitas-entitas inilah yang sangat berkepentingan kepada politik.  Beberapa waktu yang lalu kita disuguhkan berbagai macam strategi yang digunakan oleh entitas tersebut untuk dapat memenangkan perhelatan akbar Pemilu. Jika kita amati secara umum kebanyakan politisi maupun partai politik di Indonesia hanya menekankan aktivitas marketingnya pada tahap exposure dan tahap awareness (baca 7 Steps of Political Marketing!Sebuah Strategi Untuk Menang!) . Tujuan mereka adalah membangun popularitas setinggi-tingginya dikalangan masyarakat dan pada akhirnya mengharapkan pencitraan yang bagus. Para politisi percaya pencitraan yang bagus akan membuat public tergerak, suka, dan berkomitmen untuk memilihnya dan akhisrnya menghasilkan elektabilitas yang tinggi.

Sebagian besar politisi selalu ingin hasil yang instan, mereka menghabiskan dana yang begitu besar melalui kegiatan above the line yang tidak terintegrasi dengan program-program lain yang berbasiskan experiential (pemberian pengalaman yang tak terlupakan) dan engagement. Ketidaksabaran para politisi seringkali membuat program marketing yang membabi buta, tidak terintegrasi dan memiliki goal yang kurang jelas.

Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Barrack Obama dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat, pada tahun 2008. Pada saat itu, Obama membangun platform marketing yang terintegrasi antara microsite yang didesain secara khusus secara online maupun offline hingga memanfaatkan media social untuk membangun engagement dengan komunitas yang ada. Bahkan dari aktivitas engagement ini, Obama berhasil melakukan fund raising hingga 54% dari total dana yang berhasil dikumpulkan atau setara US$199,8 juta yang tentu saja merupakan jumlah yang fantastis.

Bagaimana dengan di Indonesia? Dari berbagai pengamatan terdapat 3 pola yang dilakukan oleh para politisi untuk meningkatkan preferensi pemilih yaitu:

1.       Snob
Politisi kelompok Snob biasanya dari kalangan yang memiliki modal besar seperti pengusaha atau dari kalangan pejabat. Kelompok politisi ini cenderung ingin mengambil jalan pintas dengan melakukan transactional marketing melalui pemberian kesenangan dan informasi dengan biaya yang besar. Mereka melakukan kampanye dalam dua bentuk. Pertama membangun popularitas dengan inklan (above the line dan Below The Line). Kedua, meraup suara dengan membagi-bagi logistic termasuk memberikan janji hadiah yang besar kepada para pemilih dan tim sukses.

2.       Politisi Smart
Politisi Kelompok Smart biasanya tidak mau mengeluarkan biaya besar dalam kampanye, namun tetap yakin memiliki kesempatan untuk menang. Biasanya mereka sudah punya modal popularitas seperti dari kalangan artis atau aktivis. Namun demikian, kelompok ini masih perlu berjuang keras untuk meningkatkan likeabilitas dan elektabilitas. Strategi yang mereka lakukan biasanya adalh dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat experiential (pengalaman) mapun melakukan engagement (interaksi dan keterlibatan secara langsung dengan para pemilih) terhdap komunitas-komunitas, baik yang sudah ada, maupun yang sengaja mereka bentuk. Namun rata-rata mereka melakukannya sebatas media offline
Kelompok Smart politician berusaha menerapkan prinsip low budget high impact marketing. Sayangnya, kebanyakan dari mereka tidak ada yang secara serius menciptakan platform khusus yang sengaja dibuat untuk membangun engagement jangka panjang dengan pemilih. Rata-rata politisi di Indonesia hanay berorientasi jangka pendek hingga mereka terpilih menjadi angota legislatif.

3.       Politisi Dumb
Kelompok ini sebenarnya kurang serius maju dalam kompetisi. Namun mereka hanya berharap siap tahu dengan usaha yang tidak seberapa bisa bernasib baik dan mengantarkannya di kursi empuk kekuasaan. Mereka dapat berasal dari kalangan artis, pengusaha muda, professional dan lain-lain. Praktis kelompok ini tidak melakukan kegiatan marketing yang signifikan kecuali jika diberi kesempatan untuk sekedar berbagai-bagi brosur, stiker, dan beberapa merchandise lain yang tergolong murah. Kelompok ini tidak mau melakukan investasi yang besar untuk kegiatan politiknya, kalau perlu mereka tidak keluar uang sepeser pun.

0 comments:

Post a Comment